Hal-Hal yang Kamu Pikirkan Ketika Gagal

Ruthnaomi VL
4 min readJul 6, 2022

Singkatnya, saya nggak masuk salah satu beasiswa plat merah.

Dah cakep banget padahal kampusnya 🤷🏻‍♀️

Sebenarnya waktu setelah wawancara, I do not have good feeling with this. Saya entah kenapa cerita sama satu orang yang belum saya kenal dengan baik tentang perasaan saya, tapi mau mendengarkan keluh kesah saya. Jauh sebelum wawancara bahkan, ketika temen-temen saya PD banget saya bakal masuk, saya nggak punya firasat bagus. Saya luar biasa paham bahwa firasat bisa menjebak saya untuk melakukan self-fulfilling prophecy, tapi saya juga percaya firasat atau gut feeling bisa jadi pertanda “alam” untuk kita siap-siap.

Tapi nyatanya, sesiap apapun kita dibuat oleh “Yang Punya Kehidupan” dan alam, saat membaca pengumuman ini, saya sedih bukan main. Testimoni Mama saya ketika melihat saya menangis, dia nggak pernah lihat saya sampai segitunya saat menangis. Saat itu, kaki saya lemes banget sampai jatuh terduduk di lantai. Saya menangis lamaaaaa sekali, kayanya itu tangisan saya yang paling heboh. Saya ulang berkali-kali halamannya, hasilnya tetap sama.

Tidak Lulus Seleksi Substansi

Sebagai manusia biasa yang banyak ragunya, hal pertama keluar dari mulut saya adalah, “Tuhan nggak sayang lagi, ya, sama Iyut?” Waktu denger itu, sontak Mama peluk saya kenceng-kenceng. Kami berdua menangis bersama. Rasanya kedua orangtua saya yang paham seberapa besar saya sudah berusaha untuk melanjutkan S2, terlebih untuk S2 yang ini. Saya sudah pernah ditolak di 2 PTN dan 1 kampus luar negeri, maka, ketika saya berhasil diterima di salah satu universitas terbaik di dunia, maka harapan besar membuncah dalam dada. Di otak saya, “Jadi ini rasanya berhasil”. Tapi, ternyata, jalan saya masih panjang.

Hari-hari berikutnya rasanya gelap. Saya seperti orang kehilangan arah. Saya sudah keluar banyak uang, hasil tabungan bekerja selama dua tahun. Saya sampai pinjam uang orangtua saya. Saya meninggalkan pekerjaan saya karena saya bukan orang yang bisa setengah-setengah kalau mau mengusahakan sesuatu. Tapi, di satu sisi, saya sangat paham dengan resiko ini. Namun, saya merasa saya berhak sedih, sesedih-sedihnya.

Saya sedang dalam tahap berduka. Saya sadar bahwa susah banget keran dalam mata ini dikontrol. Saat nonton drama, saya sedih karena latar filmnya ada di New York, tempat kampus tujuan saya. Bahkan menggunakan bahasa Inggris bisa menjadi cue untuk saya menangis lagi. Rasanya berduka itu aneh, semua hal bisa menjadi pemicu buat saya mengingat kegagalan saya. Saya memang bukan orang yang jalan hidupnya mulus dan lancar, saya paham benar rasanya gagal. Saya sudah nggak asing, tapi kegagalan seperti ini, dalam versi yang tidak bisa saya deskripsikan secara verbal, rasanya asing dan saya merasa seperti terisolasi di dalamnya. Meskipun saya tahu orangtua saya juga ikut bersedih, tetapi saya merasa sendiri dalam gelombang kesedihan ini. Tetapi, saat emosi-emosi negatifnya yang dahsyat mereda, saya belajar untuk melihat bagaimana Tuhan tetap merawat saya dalam kesedihan ini.

Sejak saya kembali ke rumah, sebelum saya mengikuti seleksi beasiswa ini, entah kenapa, Mama mengalami penurunan kesehatan. Saya dagdigdug luar biasa. Setiap menemani ke Laboratorium, Puskesmas dan Rumah Sakit, saya bertanya kepada Tuhan. Salah satu pertanyaan saya adalah kalau saya pergi jauh, siapa yang merawat Mama? Isi rumah ini sibuk semua. Mama saya tidak pernah meminta untuk terus ditemani, tapi saya yang memaksa Mama untuk menemani setiap berobat. Salah satu pertanyaan yang paling ultimate yang entah kenapa saya kemukakan pada saat itu adalah, “Tuhan, kalau mama kenapa-kenapa pas aku lagi jauh, mentalku bisa gimana ya?” Mungkin Mama saya nggak akan bilang bahwa dia butuh saya, tapi saya mengidentifikasi bahwa saya butuh sekali Mama. Maka entah kenapa, terbersit pikiran, jika tidak lolos beasiswa ini, berarti Tuhan izinin aku untuk merawat Mama dan in a way, bukti Tuhan mendengarkan dan menjawab setiap monologku.

Benar saja, sehari setelah pengumuman beasiswa (dan saya masih sedih-sedihnya), di rumah sakit, dokter spesialis tiba-tiba bilang nggak berani operasi Mama karena ada kondisi baru yang ditemui di pemeriksaan itu. Rasanya pengen nangis di lantai ruang praktek dokter, tapi saya tau posisi saya adalah caregiver. Saya menata baik-baik hati saya saat itu, sambil bercanda agar Mama saya nggak usah terlalu tegang. Dokter menjelaskan apa yang harus saya lakukan secara administrasi (di mana kami harus konsul lagi di rumah sakit lain), tapi otak saya sudah penuh. Sampai kamar, saya tumpahkan semua nangis yang in a way, lega banget. Perlahan saya mulai sadar, Tuhan sayang banget sama saya untuk ngasih kondisi ini di saat saya tidak bekerja, nggak kebayang gimana saya yang aslinya super melankolis ini menghadapi kondisi yang setelah saya amati, jauh lebih penting dari saya nggak berhasil berangkat ke New York tahun ini.

Perjalanan saya masih panjang, tapi saya berdoa kepada Tuhan untuk selalu kasih pengertian baru tentang kegagalan ini.

Kalau kamu baca tulisan ini, saya nggak butuh untuk disemangatin, saya titip doa untuk saya biar saya semakin memahami dan mengambil makna dari kegagalan ini, dan yang paling penting, kirim doa untuk Mama saya, ya.

Amsal 23:18 TB. Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang

--

--

Ruthnaomi VL

A quarantine diary in the midst of outbreak, including the downfalls and such.