Hal-hal yang Aku Pelajari Ketika Gagal

Ruthnaomi VL
3 min readJul 14, 2022

Long story short, berdasarkan pengalaman ini, aku mikir lagi. Sebagai anak yang kebanyakan mikir, aku rasa (akhirnya merasakan wkwk), daripada ini penuh di otak, aku mau berbagi aja apa yang aku pelajari ketika gagal (Padahal kejadiannya masih seminggu lewat dikit sih….)

  1. Semua tau gagal itu pengalaman negatif. Tentunya, manusiawi sekali yang datang selanjutnya adalah perasaan-perasaan negatif. Aku yang memang aslinya loner (and appreciates solitude more than anything else), sangat tergoda untuk mengisolasi diri. Sampai-sampai visualisasi imajinasiku adalah duduk di pulau sendirian, termenung, sambil camping di pantai (hyak ga penting). Lalu aku ingat nasehat many of my therapists dan nasehat dosbingku waktu S1, kalo lagi dipenuhi perasaan-perasaan negatif itu, jangan bergumul di dalamnya sendirian. Yang ada aku bakal tenggelam di dalam perasaan itu. Perasaan-perasaan itu sangatlah subjektif, dan meskipun itu tetap valid untuk dirasakan, karena subjektivitasnya itulah kita bisa merasa bahwa semua itu mendefinisikan diri kita. Contoh paling nyata yang aku rasakan kemarin adalah pemikiran ini: I experience a failure, therefore, I am a failure. Padahal, menggeneralisasikan diriku dan segala macam traits, keunikan, dan subjective experiences lainnya menjadi sebuah kesimpulan bahwa aku adalah a failure adalah hal yang nggak adil. Bias dan to be honest, sesat pikir ini adalah hal yang sangat manusiawi, tapi tetap nggak produktif, malahan jadi batu sandungan. Maka dari itu yang aku lakukan adalah pelan-pelan keluar dari pusaran kesedihan itu. Yang aku kemarin lakukan adalah menulis. Pedih banget rasanya waktu menulis blogku karena aku punya kesulitan untuk menjadi vulnerable. Tapi, ternyata post blogku jadi pengantar untuk banyak pesan-pesan dan doa baik, terima kasih ya!
  2. Get out from the internet for some times! Hahaha! Internet itu jadi semacam magnet buat aku menemukan hal-hal yang mengafirmasi kesedihan dan perasaan-perasaan negatif lainnya, malahnya jadi makin sedih. Jadi, ya udah, detox internet sewajarnya itu perlu banget.
  3. Find your support system. Satu hal yang diajarin sama therapists-ku di masa lalu, support system itu kita yang menentukan. Nggak ada social standard untuk bilang A, B, C harus jadi bagian support system kita. You define yours.
  4. Boleh cari hal-hal untuk menjauhkan diri dari kesedihan kita untuk sementara waktu, tapi, tetap deal with your sadness. Aku memperlakukan kesedihanku seperti tamu kemarin. Sama kaya kalo kita lagi kedatangan tamu, kita tuh tetep perlu berkegiatan nggak sih. Ibaratnya, kalo ada keluarga dateng tapi kita ada jadwal sekolah, kita pasti akan tetap sekolah dong. Tapi ga mungkin, kan, kita cuekin terus tu tamu yang dateng. Ada saatnya untuk kita duduk berbicara dengan tamunya. Mempraktekkan hal ini, aku jadi paham core dan akar kesedihan aku itu apa. Watch out, ternyata perasaaan-perasaan lainnya muncul satu per satu. Kabar baiknya, mengidentifikasi perasaan-perasaan itu membuat kita semakin kenal dan paham sama diri kita, bahwa kita itu sebagai manusia kompleks sekali. Bayangin, cuma karena satu peristiwa pemicu, reaksi aku bisa begitu beragam dan pemaknaannya pun bisa berubah dari waktu ke waktu. #Bangga
  5. Keeping our minds to be positive all the time sometimes did not work (at least for me). Allow yourself to be ultra sad. LOL kadar sedihnya orang kan beda-beda ya. Tapi sedihnya kemaren itu parah sedihnya bener-bener deh. In the past, I would have not allowed myself to be that sad and tried to be productive instead. Kalo waktu kecil, lagi sedih aku malah belajar. Udah gede, kalo sedih mau belajar apa coba, belajar dari kehidupan? Ya udah, menangis sepuasnya ternyata membuatku merasa lebih in touch sama diriku.

Sekian pelajaran kegagalan hari ini. Doaku semoga aku semakin tough dan kamu yang baca bisa tough juga. #toughbersama

Ciao!

--

--

Ruthnaomi VL

A quarantine diary in the midst of outbreak, including the downfalls and such.